Ayah

Ayah,

Mengapa kau tegar?

Masih berdiri mengais rupiah.

Disana, kau berletih-letih.

Tertatih-tatih.

Menguras nasi dalam lambung.

Berkeringat-keringat.

Mengharap kami tersumpal gizi.

Tapi Ayah,

 Lama kita tak duduk merapat.

Berbincang hangat.

Lupakah engkau dengan mimpi?

Yang selalu kau kata dalam asa.

Namun Ayah,

Terlalu sibukkah engkau tuk menatap langit?

Berdua, denganku.

Mungkin, engkau terlalu tangguh,

Untuk selamanya kuselami.

[Tetsuko Eika – 3 Oktober 2011]