Sebuah Surat Bisu

surat 2

Duhai akhi…

Apakah engkau mencintaiku? Seakan-akan engkau tengah mengirim sinyal yang “indah” untukku. Ucapmu, senyummu juga sikapmu…seolah-olah tengah membidik panah asmaramu padaku. Dan, apakah itu benar…duhai akhi? Apakah engkau mencintaiku?

Duhai akhi…

Aku, selalu terkesima dengan tingkahmu. Aku tak pernah absen dari debaran hati ketika engkau meng-smsku dengan kata-kata motivasi. Aku pun selalu terenyuh ketika engkau selalu membangunkanku di sepertiga malam terakhir lewat miss call hand phone-mu. Duhai akhi, sejujurnya…engkau telah menang! Dengan kemampuanmu itu, tiap malamku senantiasa resah dan berdebar. Aku tak pernah mengerti mengapa sosokmu serasa terlukis di otakku. Matamu, hidungmu, bibirmu juga kebaikanmu senantiasa terlukis dengan pasrah olehku. Duhai akhi…engkau memang hebat mencuri hatiku! Mencuri hati seorang gadis “lemah” yang cinta kebenaran.

Duhai akhi…

Mengapa engkau begitu romantis? Setiap sms-mu senantiasa muncul dengan ungkapan-ungkapan halus dan meleburkan hati. Engkau selalu memuji dan mendo’akanku ketika aku susah dan sedih. Meskipun engkau selalu hadir dalam tulisan sms, panah asmaramu selalu menerpa kalbuku. Membuat jantungku sesak!! Sesak dengan keriuhan madu cintamu. Lalu, benarkah engkau itu mencintaiku?

Duhai akhi…

Entah mengapa sosokmu terkadang hadir dalam mimpiku. Hadir sebagai seorang penyejuk di tengah gersangnya sahara kehidupan. Dalam mimpiku, engkau hadir sebagai “malaikat” penentram sukma. Dan, entah mengapa aku begini. Apakah karena tingkahmu, duhai akhi?

Duhai akhi…

Aku kerap merindukanmu! Dalam setiap do’aku, aku menyebut namamu. Aku selalu mengharap mendapat petunjuk pada Rabbi agar engkau menjadi yang terbaik bagi masa depan hidupku. Lalu, apakah engkau selalu melakukan itu untukku? Apakah pada tiap salat malammu namaku disebut dengan syahdu? Duhai akhi…buku diariku penuh dengan romansa namamu. Engkau hadir dalam kelam dan letihnya rutinitasku. Memberi semangat dan memompa keistiqomahan. Dan, apakah engkau pun selalu menuliskan namaku dalam lembaran harimu?

Duhai akhi…

Kebaikanmu membuat hatiku berdesir! Aku kalap berjumpa dengamu! Aromamu yang penuh keshalihan terasa menusuk batinku dengan ganas. Aku terkesima dengan paras akhlakmu. Senyumanmu, ketulusanmu juga perlindunganmu pada wanita membuatku hanyut pada renungan kecil yang entah mengapa menjadi sebuah renungan panjang. Lalu, apakah engkau pernah memikirkanku?

Duhai akhi…

Aku malu dengan rasa ini. terlalu istimewa untuk dirasakan oleh seorang gadis seperti aku ini. aku pun tak pernah mengerti mengapa rasa ini hadir dalam hati. Mungkinkah karena ini takdir Illahi? Pertemuanku denganmu kala itu…membawaku pada sebuah kesimpulan, bahwa..kini aku tengah menyayangimu.

Duhai akhi…

Mengapa engkau begitu baik padaku? Ataukah aku yang terlalu mendramatisir keadaan? Padahal, mungkin saja engkau selalu baik pula pada banyak wanita lain. Tapi akhi, tahukah engkau bahwa aku tengah menantimu. Dan, entah bagaimana prosesnya aku bisa menunggumu. Padahal, bibirku kelu untuk ucapkan “aku cinta padamu”. Lalu, apakah engkau mengerti aku?

Duha akhi…

Pintaku hanya satu. Cintailah aku dengan pernikahan. Jujur saja, aku..sungguh tak ingin mewarnai rasa terpendam ini dengan kobaran cinta nafsu semata. Aku, hanya ingin engkau muliakanku dengan kehalalan akad Illahi. Duhai akhi, apakah engkau mengerti? Dan, entah mengapa..aku bisa berpikir seperti ini. meskipun usiaku masih terlalu dini, tapi..aku berharap engkau hadir dalam hidupku juga masa depanku.

Duhai akhi…

Aku takut jika pengharapanku sia-sia. Sesungguhnya, aku tak ingin bertepuk sebelah tangan. Meskipun, entah sampai kapan aku harus menunggumu seperti ini. aku bingung, karena tak ada khitbah yang mengingatkanku. Lalu, akankah engkau mengkhitbahku? Meminangku dengan lantunan ayat Al-Qur’an Illahi yang suci? Duhai akhi, aku rindu masa-masa itu, masa dimana aku mampu berbakti pada sang pemimpin rumah tangga. Dan, kuharap…itu adalah engkau, wahai akhi…

 Duhai akhi…

Aku tak pandai mengungkap hati. Disini, aku menunggumu. Menunggu “payung” cinta dan keikhlasanmu meneduhi tubuhku. Meskipun, aku tak pernah mampu mengungkap isi hatimu. Apakah engkau memiliki rasa yang sama dengan diriku atau tidak. Tapi, ingatlah duhai akhi, aku tak akan menodai hati ini dengan debu-debu nafsu. Aku, akan banyak “diam”. Karena aku takut pada titahNYA. Sebelum ijab Kabul, aku akan “dingin” terhadapmu. Aku malu..jika harus menjadi gadis murahan hanya untuk meraih kasihmu. Ketahuilah akhi, engkau masih haram untuk kusentuh. Dan, aku tak akan mengobral “perhiasanku” kepadamu. Tidak! Tapi, duhai akhi…aku akan sangat senang jika engkau hadir dan menjemputku sebagai istrimu. Maka, aku akan memberikan “perhiasan” ini hanya kepadamu. Aku akan memuliakanmu. Menjagamu serta berbakti kepadamu.

Duhai akhi…

Akankah engkau mengerti hatiku? Kuharap surat yang “bisu” ini mampu menghantarkan sinyalku kepadamu. Ingatlah duhai akhi, bahwa ada seorang gadis yang merindukanmu. Ada seorang gadis yang mengharapkan seorang pemimpin dalam rumah tangganya. Ada seorang gadis yang menginginkan sosok yang mampu memuliakannya. Dan….gadis itu adalah…AKU.

Gambar di ambil di sini

2 thoughts on “Sebuah Surat Bisu

Tinggalkan Balasan ke aji Batalkan balasan